Kalender Liturgi hari ini
Kitab Hukum Kanonik
No. kanon: contoh masukan no kanon: 34,479,898-906
KITAB SUCI +Deuterokanonika
: - Pilih kitab kitab, masukan bab, dan nomor ayat yang dituju
Katekismus Gereja Katolik
No. : masukkan no. katekismus yang dikehedaki, misalnya 3, 67, 834 atau 883-901
Materi iman
Dokumen Gereja

No: masukkan no. yang dikehedaki - 0 (nol) untuk melihat daftar isi-(catatan kaki lihat versi Cetak) 

 

 

PENAFSIRAN ALKITAB DALAM KEHIDUPAN GEREJA

Para ekseget mempunyai peran yang khusus dalam penafsiran Alkitab, tetapi mereka tidak memegang suatu monopoli. Di dalam Gereja, aktivitas ini mempunyai aspek-aspek yang mengatasi analisis akademik atas teks. Tentu saja, Gereja tidak hanya memandang Alkitab sebagai suatu kumpulan dokumen historis ten tang asal-usul-nya. Gereja menerima Alkitab sebagai Sabda Allah yang ditujukan baik kepada dirinya sendiri maupun kepada seluruh dunia sekarang ini. Keyakinan ini, yang berasal dari iman, lalu mengarah pada karya untuk mengaktualisasi dan menginkulturasikan pesan-pesan Alkitab serta macam-macam penggunaan teks suci dalam liturgi, dalam "Lectio Divina", dalam pelayanan pastoral, dan dalam gerakan ekumenis.

A. Aktualisasi
Sudah di dalam Kitab Suci itu sendiri-seperti yang telah kita lihat dalam bab sebelumnya-orang dapat menunjuk contoh-contoh aktualisasi: sudah sejak awal teks dibaca kembali dalam terang situasi baru dan diterapkan pada situasi Umat Allah pada zaman yang bersangkutan Keyakinan dasar yang sama ini diperlukan un tuk merangsang komunitas-komunitas orang beriman zaman sekarang untuk melanjutkan proses aktualisasi.

1.Prinsip-Prinsip
Aktualisasi bersandar pada prinsip-prinsip dasar berikut:

Aktualisasi dimungkinkan sebab kekayaan makna yang terkandung dalam teks Kitab Suci membuatnya ber-nilai untuk sepanjang masa dan semua kebudayaan (bdk. Yes 40:8; 66:18-21; Mat 28:19-20). Pesan alkitabiah ini sekaligus dapat merelativisasi dan memperkaya sistem nilai dan norma-norma perilaku yang berlaku dalam setiap generasi.

Aktualisasi diperlukan karena teks-teks alkitabiah, meskipun pesannya mempunyai nilai abadi, disusun dengan memperhatikan situasi di masa lalu dan dalam bahasa yang dikondisikan oleh waktu dan musim yang berbeda. Untuk menyingkapkan pentingnya teks-teks tersebut bagi manusia zaman sekrang, perlulah menerapkan pesan-pesan terse but dalam situasi sekarang dan mengungkapkannya dalam bahasa yang sesuai untuk saat sekarang. Hal ini mengandaikan suatu usaha hermeneutik, yang tujuannya mengatasi situasi-situasi historis untuk menentukan pokok yang hakiki dari pesan alkitabiah tersebut.

Aktualisasi hendaknya terus menyadari hubungan yang kompleks an tara dua Perjanjian yang terdapat dalam Alkitab, karena Perjanjian Baru menyatakan diri sebagai sesuatu yang sekaligus menjadi kepenuhan dan mengatasi Perjanjian Lama. Aktualisasi terjadi sejalan dengan kesatuan dinamis itu.

Aktualisasi ini didorong oleh tradisi yang hidup dalam komunitas beriman. Secara jelas, komunitas ini menempatkan diri sebagai kelanjutan dari komunitas yang memunculkan, melestarikan, dan meneruskan Kitab Suci. Dalam proses aktualisasi, tradisi memainkan peranan ganda: di satu pihak, aktualisasi memberikan perlindungan terhadap penafsiran-penafsiran yang menyimpang, dan di lain pihak, aktualisasi menjamin diteruskannya dinamika yang asli.

Oleh karena itu, aktualisasi tidak memanipulasi teks. Aktualisasi tidak mau memroyeksikan pandangan atau ideologi baru pada teks Alkitab, tetapi dengan tulus berusaha menemukan apa yang mau dikatakan teks pada saat sekarang ini. Teks Alkitab mempunyai otoritas atas Gereja sepanjang masa, dan meskipun berabad-abad telah berlalu sejak penyusunannya, teks Alkitab tetap memegang peranan sebagai pembimbing yang istimewa, yang tidak bisa dimanipulasi. Kuasa Mengajar Gereja "Tidak berada di atas Sabda Allah, melainkan melayaninya, yakni dengan hanya mengajarkan apa yang diturunkan saja, sejauh sabda itu, karena perintah ilahi dan dengan bantuan Roh Kudus, didengarkannya dengan khidmat, dipeliharanya dengan suci, dan diterangkannya dengan setia" (Dei Verbum, 10).

2.Metode
Berdasarkan prinsip-prinsip di atas, berbagai macam metode aktualisasi bisa dimanfaatkan.

Aktualisasi, yang sudah dipraktekkan di dalam Alkitab sendiri, dilanjutkan dalam tradisi Yahudi melalui prosedur-prosedur yang ditemukan dalam Targum dan Midrash: mencari teks-teks paralel (gezerah shawah), modifikasi dalam pembacaan teks ( 'al tiqrey), penerimaan makna kedua (tartey mishma), dan lain-lain.

Pada gilirannya, para Bapa Gereja menggunakan tipologi dan alegori untuk mengaktualisasikan teks alkitabiah dengan cara yang sesuai dengan situasi umat Kristen pada saat itu.

Usaha-usaha modern untuk mengaktualisasikan teks alkitabiah hendaknya memperhatikan baik perubahan dalam cara berpikir maupun kemajuan dalam metode penafsiran.

Aktualisasi mengandaikan suatu eksegese teks yang tepat, salah satunya adalah menentukan makna literalnya. Mereka yang terlibat dalam tugas aktualisasi yang tidak terlatih baik dalam prosedur eksegetis hendaknya memanfaatkan buku-buku pengan tar yang baik. Hal ini akan menjamin bahwa penafsiran mereka berada pada arah yang benar.

Metode yang paling pasti dan menjanjikan untuk dapat sampai pada aktualisasi yang berhasil adalah penafsiran Alkitab oleh Alkitab, khususnya dalam hal teks-teks Perjanjian Lama yang dibaca kembali dalam Perjanjian Lama sendiri (misalnya, manna dari Kel16 dalam Keb 16:20-29) dan/atau dalam Perjanjian Baru (Yah 6). Aktualisasi teks alkitabiah di dalam kehidupan Kristen hanya dapat berjalan dengan baik dalam hubungan dengan misteri Kristus dan misteri Gereja. Tidaklah tepat, misalnya, mengusulkan kepada orang Kristen model-model peIjuangan untuk pembebasan hanya dari kisah-kisah yang terdapat dalam Perjanjian Lama (Keluaran, 1-2 Makabe).

Berdasarkan pada macam-macam bentuk filsafat hermeneutik, tugas penafsiran meliputi tiga langkah: 1. mendengarkan Sabda dalam situasi konkret sekarang; 2. mengidentifikasi aspek-aspek dari situasi sekarang yang diterangi atau dipersoalkan oleh teks alkitabiah; 3. dari kepenuhan makna yang terkandung dalam teks alkitabiah, ditarik unsur-unsur yang mampu memajukan situasi sekarang dengan cara yang produktif dan selaras dengan kehendak Allah yang menyelamatkan dalam Kristus. Melalui aktualisasi, Alkitab bisa memberikan terang pada banyak masalah masa kini: misalnya, pertanyaan sehubungan dengan macam-macam bentuk pelayanan, makna Gereja sebagai persekutuan, perhatian yang lebih kepada orang miskin, teologi pembebasan, masalah perempuan. Aktualisasi juga dapat memperhatikan nilai-nilai yang makin lama makin disadari oleh dunia modern, seperti hak-hak asasi manusia, perlindungan terhadap kehidupan manusia, pelestarian lingkungan, dan kerinduan akan perdamaian universal.

3.Batas-Batas
Agar tetap berada dalam keselarasan dengan kebenaran yang menyelamatkan seperti terungkap dalam Alkitab, proses aktualisasi hendaknya tetap berada dalam batas-batas tertentu dan bersikap hati-hati untuk tidak mengambil arah yang keliru.

Kendati setiap pembacaan Alkitab perlu dibarengi sikap selektif, hendaknya diperhatikan juga agar dihindari suatu pembacaanyang tendensius, yaitu suatu pembacaan yang bukannya patuh kepada teks, melainkan justru menggunakan teks hanya untuk kepentingan sempit mereka sendiri (seperti halnya aktualisasi yang dipraktekkan sekte-sekte tertentu seperti Saksi Yehovah).

Aktualisasi kehilangan seluruh keabsahannya jika didasarkan pada prinsip-prinsip teoretis yang bertentangan dengan orientasi dasar teks alkitabiah, seperti misalnya, rasionalisme yang bertentangan dengan iman atau materialisme yang ateistis.

Jelas harus ditolak juga setiap usaha aktualisasi yang bertentangan dengan keadilan dan kasih injili, seperti misalnya, penggunaan Alkitab untuk membenarkan pemisahan rasial, anti-Semitisme, atau diskriminasi jender, entah dari pihak laki-laki atau perempuan. Sesuai dengan semangat Konsili Vatikan II (NostraAetate, 4), perlu perhatian khusus untuk menghindarkan secara mutlak setiap aktualisasi dari teks Perjanjian Baru yang bisa menimbulkan atau memperkuat sikap yang baik terhadap bangsa Yahudi. Sebaliknya, peristiwa tragis yang terjadi di masa lalu seharusnya mendorong semua pihak untuk tetap mengingat bahwa, menurut Perjanjian Baru, bangsa Yahudi tetap "dikasihi" Allah, "sebab Allah tidak menyesali kasih karunia dan panggilan-Nya" (Rm 11 :28-29).

Langkah-Iangkah yang keliru akan bisa dihindarkan jika aktualisasi pesan-pesan alkitabiah diawali dengan penafsiran teks secara tepat dan tetap berada dalam arus tradisi yang hidup di bawah bimbingan Kuasa Mengajar Gereja.

Bagaimanapunjuga, risiko terjadinya kesalahan tidak menjadi alas an yang sah untuk mengabaikan apa yang merupakan tugas penting, yaitu menyampaikan pesan Alkitab kepada telinga dan hati manusia zaman sekarang.

 

B. Inkulturasi

Sementara aktualisasi memungkinkan Alkitab bisa tetap berbuah pada periode yang berbeda, inkulturasi dengan cara yang sama memperhatikan perbedaan-perbedaan tempat. Inkulturasi menjamin bahwa pesan alkitabiah bisa berakar pada tempat yang berbeda-beda. Perbedaan ini tidak pernah bersifat mutlak dan menyeluruh. Pada kenyataannya, setiap kebudayaan yang autentik dengan caranya sendiri merupakan pembawa nilai-nilai universal yang ditentukan oleh Allah.

Dasar teologis dari inkulturasi adalah keyakinan iman bahwa Sabda Allah mengatasi kebudayaan-kebudayaan di mana Sabda tersebut menemukan ungkapannya dan mempunyai kemampuan untuk terse bar ke budaya lain sedemikian rupa sehingga dapat mencapai seluruh umat manusia dalam konteks budaya di mana mereka hidup. Keyakinan ini berasal dari Alkitab sendiri, yang sejak Kitab Kejadian, memiliki 'orientasi universal (Kej 1:27-28), selanjutnya tetap memeliharanya dengan berkat yang dijanjikan kepada segala bangsa melalui Abraham dan keturunannya (Kej 12:3; 18:18) dan secara definitif meneguhkannya dengan memperluas pewartaan kabar kembira Kristen "kepada segala bangsa" (Mat 28:18-20; Rm 4:16-17; Ef3:6).

Langkah pertama inkulturasi tercapai dengan menerjemahkan Kitab Suci yang diilhamkan ke dalam bahasa lain Langkah ini sudah diambil pada periode Perjanjian Lama, saat teks Ibrani dari Alkitab diterjemahkan secara lisan ke dalam bahasa Aram (Neh 8:8.12) dan kemudian dalam bentuk tertulis ke dalam bahasa Yunani. Tentu saja, suatu terjemahan lebih dari sekadar transkripsi dari teks asli. Peralihan dari suatu bahasa ke bahasa lain tentu saja meliputi juga perubahan konteks kultural: konsep-konsep tidak identik dan simbol-simbol mempunyai makna yang berbeda, karena mereka itu muncul dari tradisi pemikiran yang berbeda dan gaya hidup yang berbeda pula.

Ditulis dalam bahasa Yunani, Perjanjian Baru seluruhnya ditandai oleh dinamika inkulturasi. Dalam peralihan pesan Yesus yang berciri Palestina ke dalam budaya Yudeo-Hellenistik Perjanjian Baru menunjukkan keinginannya untuk mengatasi batas-batas dunia kultural yang tunggal (Yahudi).

Akan tetapi, kendati merupakan langkah yang mendasar, penerjemahan teks Alkitab tidak bisa dengan sendirinya menjamin inkulturasi yang sesungguhnya. Penerjemahan harus diikuti dengan penafsiran, yang menempatkan pesan alkitabiah dalam hubungan yang lebih eksplisit dengan cara merasa, berpikir, hidup, dan mengungkapkan diri yang sesuai dengan budaya lokal. Dari penafsiran, kemudian orang melangkah ke tahap lain dari inkulturasi, yang kemudian menghasilkan pembentukan budaya Kristen lokal, yang meliputi seluruh aspek kehidupan (doa, karya, kehidupan sosial, kebiasaan, hukum, seni dan ilmu pengetahuan, refleksi filosofis dan teologis). Sebenarnya, Sabda Allah merupakan benih yang mengambil dari tempat dia ditanam unsur-unsur yang berguna bagi pertumbuhannya sampai berbuah (bdk. Ad Gentes, 22). Sebagai akibatnya, orang-orang Kristen harus berusaha mengetahui "harta kekayaan manakah yang oleh Allah dalam kemurahan-Nya telah dibagikan kepada para bangsa. Serta merta hendaknya mereka berusaha menilai kekayaan itu dalam cahaya Injil, membebaskannya, dan mengembalikannya kepada kekuasaan Allah Penyelamat" (Ad Gentes, 11).

jelas, hal ini bukanlah proses satu arah, melainkan suatu proses yang "saling memperkaya." Di satu pihak, harta kekayaan yang terdapat dalam berbagai macam budaya memungkinkan Sabda Allah menghasilkan buah-buah baru semen tara di lain pihak, terang Sabda memungkinkan untuk membedakan apa yang terdapat dalam budaya-budaya terse but: unsur-unsur yang merugikan bisa disingkirkan semen tara unsur-unsur yang bernilai diperkembangkan. Kesetiaan total kepada pribadi Kristus, kepada dinamika misteri Paskah-Nya, serta kepada kasih-Nya kepada Gereja memungkinkan untuk menghindari dua pemecahan yang keliru: di satu pihak, suatu "adaptasi" pesan yang dangkal serta di lain pihak, suatu kekaburan yang sinkretistik (Ad Gentes, 22).

Inkulturasi Alkitab sudah terjadi sejak abad-abad pertama, baik di Kekristenan Barat maupun di Kekristenan Timur, dan sudah terbukti membuahkan hasil. Akan tetapi, orang tidak pernah bisa menganggap bahwa tugas tersebut sudah selesai. Tugas tersebut harus ditangani terus-menerus sesuai dengan gerak kebudayaan yang terus berkembang. Di daerah-daerah yang baru saja mendapatkan evangelisasi, permasalahan timbul dalam bentuk yang agak berbeda. Pad a kenyataannya, para misionaris tidak dapat tidak membawa Sabda Allah dalam bentuk yang sudah diinkulturasikan di negara asal mereka. Gereja lokal yang baru harus berusaha sekuat tenaga untuk mengubah bentuk asing dari inkulturasi alkitabiah ini ke dalam bentuk lain yang lebih sesuai dengan kultur mereka sendiri.



C. Penggunaan Alkitab

1.Dalam Liturgi
Sejak awal Gereja, pembacaan Kitab Suci merupakan bagian integral dari liturgi Kristen, sesuatu yang sampai tahap tertentu merupakan warisan dari liturgi sinagoga. Sekarang ini juga, orang Kristen berkontak dengan Kitab Suci terutama melalui liturgi, khususnya dalam perayaan Ekaristi hari Minggu.

Pada prinsipnya, liturgi, dan khususnya dalam liturgi sakramental yang puncaknya adalah perayaan Ekaristi, merupakan aktualisasi teks alkitabiah yang paling sempurna, karena liturgi menempatkan pewartaan di tengah-tengah komunitas orang beriman, yang berkumpul di sekitar Kristus untuk mendekatkan diri padaAllah. Kristus sendiri "hadir dalam sabda-Nya, sebab Ia sendiri bersabda bila Kitab Suci dibacakan dalam Gereja" (Sacrosanctum Concilium, 7). Dengan demikian teks yang tertulis menjadi sabda yang hidup.

Reformasi liturgi yang dimulai oleh Konsili Vatikan II berusaha menyediakan bekal yang lebih kaya dari Alkitab bagi orang Katolik. Tiga lingkaran bacaan hari Minggu memberikan tempat istimewa kepada Injil, sedemikian rupa sehingga misteri Kristus sebagai prinsip keselamatan kita bisa semakin kelihatan. Dengan secara teratur mengaitkan teks Perjanjian Lama dengan teks dari Injil, lingkaran bacaan itu kerap kali mengisyaratkan suatu penafsiran spiritual dengan cara tipologi. Akan tetapi,tentu saja cara ini tidak merupakan satu-satunya model penafsiran yang mungkin.

Homili, yang berusaha mengaktualkan Sabda Allah secara lebih eksplisit, merupakan bagian integral dari liturgi. Kita akan membicarakannya kemudian, bila kita berbicara ten tang pelayanan pastoral.

Lectionarium, yang diterbitkan sesuai dengan arahan Konsili (Sacrosanctum Concilium, 35) dimaksudkan untuk membuka kemungkinan pembacaan Kitab Suci yang "lebih berlimpah, lebih bervariasi, dan lebih sesuai". Dalam situasinya yang sekarang, tujuan itu hanya sebagian saja terpenuhi. Kendati demikian, lectionarium yang ada sekarang sudah menghasilkan dampak ekumenis yang positif. Di beberapa negara tertentu, lectionarium juga menjadi petunjuk kurangnya keakraban orang-orang Katolik dengan Kitab Suci.

Liturgi Sabda merupakan suatu unsur penting dalam perayaan setiap sakramen Gereja. Liturgi Sabda tidak hanya sekadar terdiri dari serangkaian bacaan satu sesudah yang lain, tetapi hendaknya juga meliputi saat hening dan saat doa. Liturgi ini, khususnya Ibadat Harian, memilih teks dari Kitab Mazmur untuk membantu komunitas Kristen berdoa. Kidung dan doa-doa semuanya dipenuhi dengan bahasa Alkitab dan simbolisasi yang dikandungnya. Oleh karena itu, pentinglah bahwa keikutsertaan dalam litrugi dipersiapkan dan diiringi dengan pembacaan Kitab Suci

Jika dalam bacaan-bacaan "Allah menyampaikan Sabda-Nya kepada umat-Nya" (Missale Romanum, 33), Liturgi Sabda menuntut agar pemakluman dan penafsiran bacaan-bacaan terse but harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh. Oleh karena itu, sangat diharapkan bahwa pendidikan mereka yang nantinya harus memimpin ibadat dan mereka yang melayani bersama mereka memperhatikan sungguh apa yang dituntut untuk sebuah Liturgi Sabda yang sungguh-sungguh dibarui. Dengan demikian, melalui usaha-usaha terpadu, Gereja akan menjalankan perutusan yang dipercayakan kepadanya "menyambut roti kehidupan dari meja Sabda Allah maupun Tubuh Kristus, dan menyajikannya kepada Umat beriman (Dei Verbum, 21).

2.Lectio Divina
Lectio Divina adalah suatu pembacaan pribadi atau dalam kelompok atas suatu teks Kitab Suci yang diterima sebagai Sabda Allah dan karena dorongan Roh Kudus,mengarah kepada meditasi, doa, dan kontemplasi. Perhatian pada pembacaan Kitab Suci secara teratur atau bahkan setiap hari mencerminkan kebiasaan Gereja awal. Sebagai praktek kelompok, ada kesaksian dari Origenes dari abad 3. Dia biasa memberikan homili yang berdasar teks Kitab Suci yang dibacakan secara berkesinambungan dalam satu minggu. Pada waktu itu, setiap hari ada persekutuan doa yang digunakan untuk pembacaan dan penjelasan Kitab Suci. Akan tetapi, praktek ini tampaknya tidak selalu berhasil di kalangan orang Kristen (Origenes, Hom. Gen., X.l), sehingga akhirnya ditinggalkan.

Lectio Divina, khususnya yang dilakukan secara pribadi, menjadi praktek kehidupan monastik pada zaman keemasannya. Pada zaman modern, Instruksi dari Komisi Kitab Suci, yang direstui oleh Paus Pius XII, menganjurkan lectio ini kepada semua klerus, sekulir dan religius (De Scriptura Sacra, 1950: EB 592). Penekanan pada Lectio Divina dengan kedua bentuknya, pribadi maupun dalam kelompok, sekali lagi menjadi kenyataan. Tujuan yang mau diraih adalah menciptakan dan mengembangkan "kasih yang berdaya guna dan terus-menerus" kepada Kitab Suci, yang merupakan sumber kehidupan batin dan buah dari kerasulan (EB 591 dan 567), dan juga untuk memajukan pemahaman yang lebih baik ten tang liturgi dan menjamin bahwa Alkitab mendapatkan temp at yang semakin penting baik dalam studi teologi maupun dalam doa.

Demikian juga, Konstitusi Dei Verbum (no. 25) menekankan suatu pembacaan Kitab Suci secara tekun kepada para imamdan religius. Lebih lagi-dan ini sesuatu yang baru-Konsili juga mengundang "semua kaum beriman Kristiani" supaya "dengan sering kali membaca kitab-kitab ilahi mendapatkan 'pengertian yang mulia akan Yesus Kristus' (FlP 3:8)". Metode-metode yang berbeda ditawarkan. Bersamaan dengan pembacaan pribadi, dianjurkan juga untuk membaca di dalam kelompok. Teks konsili menekankan bahwa pembacaan Kitab Suci hendaknya diiringi oleh doa, karena doa merupakan tanggapan atas Sabda Allah yang dijumpai dalam Kitab Suci yang diilhamkan oleh Roh. Banyak usaha bagi pembacaan kelompok telah dikemukakan di antara orang Kristen. Dan orang hanya bisa mendukung kerinduan untuk memperoleh dari Kitab Suci suatu pemahaman yang lebih baik tentang Allah dan rencana penyelamatan-Nya dalam Diri Yesus Kristus.

3.Dalam Pelayanan Pastoral
Penggunaan Alkitab yang sering dalam pelayanan pastoral, seperti direkomendasikan oleh Dei Verbum (no. 24), mempunyai berbagai bentuk tergantung pada jenis penafsiran yang berguna bagi para gembala dan bermanfaat bagi pemahaman umat beriman. Tiga situasi pokok bisa disampaikan: katekese, pewartaan, dan kerasulan Kitab Suci. Banyak faktor ikut main peranan, tergantung pada tingkat kehidupan Kristen secara umum.

Penjelasan Sabda Allah di dalam katekese (Sac. Cone., 35; Gen. Catech. Direct., 1971, 16) menggunakan Kitab Suci sebagai sumber utama. Kitab Suci yang dijelaskan dalam konteks Tradisi, menyediakan titik berangkat, dasar, serta norma untuk pengajaran kateketis. Salah satu tujuan katekese seharusnya mengantar sese orang pada pemahaman Alkitab yang tepat dan berhasil guna. Hal ini akan menghasilkan penemuan akan kebenaran ilahi yang terdapat dalam Kitab Suci dan membangkitkan tanggapan yang begitu melimpah terhadap pesan yang ditujukan Allah kepada umat manusia melalui Sabda-Nya.

Katekese hendaknya mulai dari konteks sejarah pewahyuan ilahi untuk memperkenalkan tokoh dan peristiwa dalam Perjanjian Lama dan Baru dalam terang rencana Allah yang menyeluruh.

Peralihan dari teks alkitabiah menuju makna penyelamatannya di masa kini membutuhkan macam-macam proses hermeneutik yang akan menghasilkan berbagai macam penjelasan. Keberhasilan katekese tergantung pada nilai hermeneutik yang dipergunakan. Ada bahaya orang merasa puas diri dengan penjelasan yang dangkal, yang hanya memaparkan urutan kronologis dari tokoh-tokoh dan peristiwa yang diceritakan di dalam Alkitab.

Tentu saja, katekese hanya dapat memanfaatkan sebagian kecil dari teks-teks alkitabiah yang begitu melimpah. Biasanya, katekese memanfaatkan cerita-cerita khusus, baik dari Perjanjian Lama maupun dari Perjanjian Baru. Katekse juga menekankan Dasa Firman (Dekalog). Katekese hendaknya juga memanfaatkan bacaan ten tang nubuat-nubuat kenabian, ajaran-ajaran kebijaksanaan, dan wejangan-wejangan besar dari Injil-Injil, seperti Khotbah di Bukit.

Penjelasan tentang Injil-Injil hendaknya dilakukan sedemikian rupa sehingga menghasilkan perjumpaan dengan Kristus, yang menjadi kunci kepada seluruh pewahyuan alkitabiah dan yanf?: menyampaikan panggilan Allah yang harus ditanggapi masing-masing orang. Kata-kata para nabi dan para "pelayan firman" (Luk 1:2) harus tampak sebagai sesuatu yang menyapa orang-orang Kristen sekarang.

Catatan-catatan yang sama bisa diterapkan pada pelayanan pewartaan. Pewartaan hendaknya menimba dari teks-teks kuno dukungan spiritual yang sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan komunitas Kristen zaman sekarang.

Dewasa ini, pelayanan ini dilaksanakan khususnya pada akhir bagian pertama dari Perayaan Ekaristi, yaitu melalui homili yang disampaikan sesudah pemakluman Sabda Allah.

Penjelasan atas teks alkitabiah yang disampaikan sepanjang homili tidak dapat masuk sampai sedetail-detail-nya. Oleh karena itu, lebih tepatlah menjelaskan sumbangan utama teks, yang dapat menerangi iman dan paling mendorong kemajuan kehidupan Kristen, baik pada level komunitas maupun pribadi. Menyampaikan sumbangan pokok ini sama dengan berusaha mengungkapkan aktualisasi dan inkulturasi teks, sesuai dengan apa yang sudah dikatakan di atas, Untuk mencapai tujuan ini diperlukan prinsip-prinsip hermeneutika yang tepat. Kurangnya persiapan dalam bidang ini akan menghasilkan godaan untuk menghindarkan diri dari menyelami kedalaman bacaan-bacaan Alkitab dan merasa cukup puas dengan hanya menarik ajaran moral atau berbicara tentang masalah-masalah aktual tanpa meneranginya dengan terang Sabda Allah.

Di negara-negara tertentu para ekseget membantu dengan menghasilkan publikasi yang dirancang untuk membantu para gembala dalam tanggungjawabnya untuk memberikan tafsiran yang tepat atas teks-teks alkitabiah yang digunakan dalam liturgi dan membuatnya sungguh-sungguh bermakna untuk zaman sekarang. Sangat diharapkan jika usaha-usaha seperti ini bisa diperluas.

Para pengkhotbah hendaknya sungguh-sungguh menghindari tekanan yang berat sebelah atas kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada umat beriman. Pesan alkitabiah harus tetap menjaga cirinya yang mendasar sebagai kabar gembira keselamatan yang secara gratis ditawarkan Allah. Berkhotbah lalu menjadi tugas yang lebih berhasil dan sesuai dengan Alkitab jika membantu orang beriman, pertama-tama untuk "mengenal karunia-karunia Allah" (Yah 4: 10) seperti yang telah disingkapkan dalam Kitab Suci. Dengan demikian umat beriman akan dapat memahami secara positif kewajiban yang mengalir dari sana.

Kerasulan Kitab Suci bertujuan memperkenalkan Alkitab sebagai Sabda Allah dan sumber kehidupan. Pertama-tama, kerasulan ini mendorong penerjemahan Alkitab ke dalam segala bahasa dan berusaha untuk menyebarkan terjemahan ini seluas mungkin. Hal ini akan menciptakan dan mendukung banyak kegiatan: pembentukan kelompok-kelompok untuk mempelajari Alkitab, ceramah-ceramah ten tang Alkitab, mengadakan Minggu Kitab Suci, penerbitan buku-buku, majalah-majalah, dan lain-lain.

Suatu sumbangan penting diberikan oleh asosiasi-asosiasi gereja dan gerakan-gerakan yang mengutamakan pembacaan Alkitab dalam perspektif iman dan keterlibatan Kristen. Banyak "komunitas basis Kristiani" memusatkan pertemuan mereka pada Alkitab dan mempunyai tiga tujuan utama: mengenal Alkitab, menciptakan komunitas, dan melayani sesama. Juga disini para ekseget dapat memberikan bantuan untuk menghindarkan aktulisasi pesan alkitab yang tidak mempunyai dasar yang memadai pada teks. Tettapi kita dapat bergembira melihat Alkitab di ditangan orang-orang yang sederhana dan miskin. Mereka dapat memberikan terang lebih tajam kepada penafsiran dan aktualisasinya, lebih daripada pandang spiritual dan eksistensial, lebih daripada yang muncul dari kajian yang hanya menggantungkan diri pada intelektual saja (bdk. Mat 11:25).
Sarana-sarana komunikasi massa-pers, radio, televisi-yang semakin penting menuntut agar pemakluman Sabda Allah dan pengetahuan akan Alkitab juga disebarkan dengan menggunakan sarana-sarana tersebut. Ciri-cirinya yang khas, dan di lain pihak, kemampuan untuk mempengaruhi publik yang luas menuntut latihan-latihan khusus untuk dapat memanfaatkannya. Ini akan membantu menghindari improvisasi yang dangkal dan juga dampak yang mengejutkan karena tidak bermutu, usulan Kitab Suci-teks Alkitab hendaknya selalu ditampilkan secara layak.

4.Dalam Gerakan Ekumene

Meskipun gerakan ekumenis sebagai suatu gejala khusus dan terorganisir masih relatif baru, gagasan tentang kesatuan Umat Allah, yang mau dipulihkan oleh gerakan ini, sebenarnya mempunyai landasan yang amat kuat dalam Kitab Suci. Kesatuan itu merupakan keprihatinan Tuhan yang terus-menerus (Yak 10:16; 17:1l.20-23). Kesatuan ini mau mengusahakan kesatuan orang Kristen dalam iman, harapan, dan kasih iEf 4:2-5), dalam sikap saling menghormati (FlP 2:1-5), dan solidaritas (lKor 12:14-27; Rm 12:4-5), tetapijuga dan terutama suatu kesatuan organik dalam Kristus, seperti Pokok Anggur dan ranting-rantingnya (Yak 15:4-5), Kepala dan anggotanya (El1:22-23; 4:12-16). Kesatuan ini hendaknya sempurna, seperti kesatuan Bapa dengan Anak (Yak 17:11.22). Kitab Suci menyediakan dasar teologisnya (E14:4-6; Gal 3:27-28), semen tara komunitas apostolik perdana menjadi model yang konkret dan hidup (Kis 2:44; 4:32).

Sebagian besar masalah yang harus dihadapi dalam dialog ekumenis dengan salah satu cara berhubungan dengan penafsiran teks-teks alkitabiah. Beberapa merupakan masalah teologis: eskatologi, struktur Gereja, primat dan kolegialitas, perkawinan dan perceraian, peran kaum perempuan dalam pelayanan imamat, dan sebagainya. Yang lain bersifat kanonik dan yuridis: berkaitan dengan tata pemerintahan Gereja universal dan Gereja lokal. Akhirnya, ada juga yang bersifat sungguh-sungguh biblis: daftar kitab-kitab kanonik, pertanyaan hermeneutik tertentu, dan sebagainya.

Meskipun tidak dapat mengklaim untuk memecahkan semua persoalan terse but sendirian, eksegese alkitabiah dipersilakan memberikan sumbangan penting dalam bidang ekumenis. Suatu kemajuan luar biasa telah bisa dicapai. Melalui penggunaan metode yang sama dan perspektif hermeneutik yang serupa, para ekseget dari berbagai denominasi Kristen berhasil mencapai suatu tahap kesepakatan yang luar biasa dalam hal penafsiran Kitab Suci, seperti bisa dilihat dalam teks dan catatan-catatan dalam sejumlah terjemahan Alkitab yang ekumenis, serta melalui publikasi-publikasi lainnya.

Memang, perbedaan penafsiran dalam beberapa pokok sering kali mendorong dan bahkan dapat dianggap sebagai saling melengkapi dan memperkaya. Demikianlah halnya, bila perbedaan-perbedaan tersebut mengununkapkan kan nilai-nilai yang menjadi milik suatu tradisi khusus dari berbagai macam komunitas Kristen, dan dengan demikian memperlihakan kekayaan aspek dari Misteri Khusus

Karena Alkitab merupakan dasar bersama bagi norma iman, semangat ekumene mendesak semua orang Kristen untuk membaca Ullang teks-teks yang di ilhami, dalam kepatuhan kepada Roh Kudus, dalam kasih, ketulusan, dan kerendahan hati. Semangat ini juga berseru kepada semua orang orang untuk merenungkan teks-teks tersebut dan menghidupinya sedemikian rupa sehingga tercapai perubahan hati dan pengudusan hidup. Dua kualitas ini, jika dipersatukan dalam doa bagi kesatuan umat Kristen, merupakan jiwa dari seluruh gerakan ekumenis (bdk. Unitatis Redintegratio, 8). Untuk mencapai tujuan ini, perlulah diusahakan. agar Alkitab teIjangkau oleh sebanyak mungkin orang Kristen, mendorong terjemahan-terjemahan ekumenis-karena teks yang sama amat membantu pembacaan dan pemahaman bersama, dan juga kelompok doa ekumenis untuk menyumbang pada perwujudan kesatuan dalam keanekaragaman melalui kesaksian yang hidup dan autentik (bdk. Rm 12:4-5). sumber

Diperkenankan untuk mengutip sebagian atau seluruhnya isi materi dengan mencantumkan sumber http://www.imankatolik.or.id/