H O M I L I
Mgr F.X Hadisumarta O.Carm
HARI MINGGU BIASA XXX/C/2013
Sir 35:12-14.16-18 2 Tim 4:6-8.16-18 Luk 18:9-14
PENGANTAR
Dalam Injil Lukas hari ini Yesus menunjukkan perbedaan sikap dasar dua macam pandangan rohani/batin, yang di dalam masyarakat Yahudi di zaman Yesus diikuti oleh kaum Farisi dan para pemungut cukai/pajak. Keduanya itu mempunyai kesamaan tetapi juga perbedaan. Justru perbedaan sikap dasar antar mereka terhadap Allah menentukan arah dan akhir definitif untuk keadaan nasib hidup dan perbuatan mereka sepanjang hidupnya.
HOMILI
Orang Farisi di bait Allah yang disebut Yesus dalam Injil memiliki dan memperlihatkan banyak hal yang baik sebagai teladan. Misalnya bila berada di bait Allah ia tidak menyembunyikan diri di tempat belakang. Dan apa yang dikatakan tentang dirinya adalah benar: ia bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezina, bahkan bukan seperti si pemungut cukai yang juga hadir di bait Allah! Dua kali seminggu ia berpuasa, dan membayar pajak, kiranya bukan sedikit! Tidak banyak orang yang berbuat demikian. Dan ia bersyukur kepada Allah! Jadi kesimpulan kita: ia berbuat baik! Bila demikian, di manakah letak kesalahannya? – Kesalahan orang Farisi ini ialah, bahwa segala-galanya yang dilakukannya dianggapnya sebagai jasanya sendiri, dan atas kekuatannya sendiri. Allah sendiri hanya dianggap seolah-olah Dia cukup menerima saja rasa kebanggaannya. Ketergantungannya dari Allah tidak disadarinya. Ia tidak merasa diri sebagai hamba Allah, tetapi sebagai seseorang yang merasa mampu berbuat baik, bahkan secara istimewa, melebihi orang lain. Pandangan dan sikap serupa itulah yang dianggapnya sebagai kesalehan, sebagai suatu penghayatan hidup keagamaan yang luarbiasa. Tetapi sebenarnya, tanpa disadarinya orang Farisi ini membuat bagi dirinya sendiri suatu “gambaran olok-olok diri”, suatu “sindirian diri”, suatu “karikatur pribadi palsu”!
Siapakah si pemungut cukai di bait Allah yang disebut Yesus dalam Injil?
Terhadap si pemungut cukai pun dapat disebut beberapa hal yang negatif, namun dalam arti yang lain. Misalnya ia menjauhkan diri dari orang-orang lain; hal ini kurang baik sebagai teladan kebersamaan atau persaudaraan. Ia tidak berani mengarahkan pandangannya ke atas/ke langit. Tetapi ada alasannya yang dapat dibenarkan. Ia hanya berani memandang ke bawah, tidak berani memandang ke atas ke arah Allah. Ia memukul diri, dan itu memang wajar dan baik, sebab ia merasa dirinya harus bertobat. Ia menyebut dirinya “orang berdosa”, dan memang benar! Ia tahu bahwa ia dalam hidup dan perbuatannya tidak mendengarkan suara hati atau hatinuraninya. Maka ia mohon rahmat pengampunan Allah. Inilah yang benar! Dan inilah satu-satu cara atau jalan yang harus ditempuhnya untuk dapat diselamatkan. Si pemungut cukai itu sadar akan keadaan dirinya sendiri. Inilah sikap dasar yang memang harus dimiliki si pemungut cukai itu. Dan dengan demikian maka dengan rendah hati mohon rahmat Allah. Itulah sifat dan sikap kesalehan kristiani yang sejati.
Siapakah sebenarnya orang yang saleh atau yang sungguh hidup beragama secara benar? Sambil menunjuk dua orang manusia, yaitu seorang Farisi dan seorang pemungut cukai, yang keduanya baru berdoa di bait Allah, Yesus menegaskan bahwa hal penting yang harus disadari dan dihayati oleh orang yang saleh (= yang sungguh beriman dan hidup beragama dengan tulus dan jujur), bukanlah mengutamakan hal-hal keagamaan yang tampak dan dapat dilihat orang-orang lain, sehingga memberi kesan sebagai orang saleh yang dekat dengan Allah. Melainkan lebih menyadari apa yang dilakukan Allah kepada manusia. Nah, Allah datang merendahkan diri kepada manusia. Karena itu pada dasarnya hidup saleh atau hidup beragama sebagai orang yang sungguh beriman, pada hakikatnya pertama-tama adalah rahmat. Kesalehan sejati bukanlah hasil prestasi, bukan sebagai buah kecil atau besar hasil usaha dan jerih payah manusia, melainkan sebagai usaha menerima uluran tangan Allah sebagai rahmat.
Hanya orang yang sadar bahwa kesalehan atau kesucian adalah rahmat Allah dan bukan hasil prestasi diri manusia, akan dibenarkan atau diselamatkan oleh Allah. Dengan kata lain, tidak ada kesalehan diri atau kesucian diri sebagai hasil usaha sendiri, betapa pun besarnya! Maka ceritera tentang orang Farisi dan si pemungut cukai di bait Allah dalam Injil hari ini, sangat perlu kita pahami dan terutama kita sadari. Maka dalam menghayati hidup keagamaan secara benar, kita semua dan setiap orang masing-masing menurut keadaan hidup dan panggilannya, harus bersedia dan berani bersikap sebagai si pemungut cukai dalam Injil Lukas hari ini. Ia seorang pendosa, namun ia bersedia dan berani mengakuinya kepada Tuhan. Karena pengakuan dirinya sebagai orang berdosa, maka si pendosa itu dibenarkan oleh Allah.
Mgr. FX. Hadisumarta O.Carm
kumpulan Homili Mgr. FX. Hadisumarta O.Carm
buku Katekese terbaru dari Mgr. FX. Hadisumarta. O.Carm