Kalender Liturgi hari ini
Kitab Hukum Kanonik
No. kanon: contoh masukan no kanon: 34,479,898-906
KITAB SUCI +Deuterokanonika
: - Pilih kitab kitab, masukan bab, dan nomor ayat yang dituju
Katekismus Gereja Katolik
No. : masukkan no. katekismus yang dikehedaki, misalnya 3, 67, 834 atau 883-901

Partner Link Website
Keuskupan, Paroki & Gereja

Partner Link Website Katolik & Umum

Janda dalam Alkitab

Oleh:
F.X. Didik Bagiyowinadi Pr

      Ketika mengucapkan janji setia perkawinan, kedua mempelai berjanji setia satu sama lain, dalam untung dan malang, baik sehat maupun sakit, sampai kematian memisahkan. Apa yang telah dipersatukan oleh Tuhan, tidak boleh diceraikan oleh manusia (Mrk 10:9). Hanya Tuhan yang bisa memisahkan keduanya melalui kematian. Tentu kita berharap bahwa suami istri akan bisa terus hidup bersama dan akhirnya menjadi tua bersama (lih. Tob 8:7). Hanya saja kita tidak pernah tahu kapan dan dengan cara apa kematian akan datang dan sampai berapa lama usia perkawinan suatu pasangan.

      Karena kematian, ikatan perkawinan suami-istri terputuskan. Bagaimana dengan yang ditinggalkan menjadi janda/duda? Tulisan ini mencoba menguraikan kehidupan janda dalam kitab suci, bagaimana duka derita mereka, namun kita juga akan belajar pada tokoh-tokoh janda yang tampil mengagumkan dalam kitab suci, serta bagaimana keterlibatan para janda dalam perkembangan awal Gereja. Apa yang kiranya menguatkan mereka untuk tetap bertahan hidup di tengah segala kekurangan? Akan dipaparkan pula bagaimana keberpihakan Tuhan kepada anak yatim dan janda yang kiranya akan memotivasi dan menginspirasi Gereja dewasa ini untuk mewujudkan option for the poor-nya.

Janda cerai atau janda mati?
      Bila mendengar status seseorang sebagai janda, biasanya kita masih mencari tahu: janda-mati atau janda-cerai. Kata Ibrani untuk janda adalah ’almanâ dan kata Yunaninya adalah chera. Dalam penggunaan umum kata Yunani chera memiliki akar yang bermakna “ditinggalkan, tertinggal kosong”. Sementara makna ’almanâ lebih melukiskan seorang wanita yang kehilangan dukungan sosial dan ekonomi karena kematian suaminya. Seorang janda memiliki status sosial yang lemah, terlebih bila dia tidak memiliki keturunan.

      Situasi kemalangan seorang janda kerap dijadikan simbol dalam kitab suci. Yerusalem seusai kehancurannya dilukiskan sebagai kota yang telah menjadi janda (Rtp 1:1). Menjadi janda ketika masih usia subur, disamakan dengan mandul dan dianggap sebagai cela atau aib (Yes 54:4, Yes 4:1). Dan bertambahnya jumlah janda menubuatkan suatu penghukumanan (Kel 22:24, Yer 15:8, 18:21).
                 
Pakaian Kejandaan

      Janda mengenakan pakaian kejandaannya setidaknya untuk sementara waktu, suatu pakaian kabung atas kematian suaminya (Kej 38:14.19, 2 Sam 14:2.5, Ydt 8:5, 10:3, 16:7). Menurut de Vaux, tidak diketahui berapa lama seorang janda mengenakan pakaian kejandaannya. Namun mengenakan pakaian kejandaan lebih dari tiga tahun seperti yang dilakukan oleh Yudit (Ydt 8:4), merupakan suatu perkecualian.  Yudit juga mengenakan kain kabung di pinggangnya (Ydt 8:5). Ketika Tamar hendak menjebak mertuanya, dia menanggalkan pakaian kejandaannya (Kej 38:14), lalu berdandan dan mengenakan telekung atau cadar. Telekung juga dipakai Ribka ketika bertemu dengan Ishak di padang (Kej 24:65). Jadi, seorang janda tidak mengenakan telekung atau cadar.

Kondisi Ekonomi Janda
      Seorang janda kehilangan pelindung dan penopang ekonomi dari pihak laki-laki (suami, anak-anak lelaki, ataupun saudara-saudara). Seorang janda yang mempunyai anak lelaki masih memiliki harapan akan masa depan. Dengan adanya anak lelaki maka harta waris suami jatuh kepada anak lelakinya. Anak lelakinya ini (kelak) akan menopang hidupnya. Maka sungguh suatu kepedihan bagi janda yang kehilangan anak lelaki tunggalnya (1 Raj 17:20, Luk 7:12) ataupun semua anak lelakinya (Rut 1:5, 2 Sam 14:5-7).

      Seandainya janda itu tidak memiliki anak lelaki, maka harta warisnya akan jatuh kepada anaknya perempuan, namun bila sama sekali tidak memiliki anak, maka harta waris suami berturut-turut jatuh kepada saudara lelaki suaminya, saudara ayah dari suaminya, atau keluarga dari suaminya (Bil 27:8-11). Di Israel seorang janda sama sekali tidak ikut menjadi ahli waris suaminya. Jadi, bila dia tidak memiliki anak, maka harta waris suami kembali kepada keluarga suami. Hal demikian berbeda dengan praktik bangsa lain, misalnya Babilonia, dimana istri juga ikut menerima warisan dari suaminya. Namun, kebiasaan Israel ini menjadi perkecualian dalam kasus Yudit yang mewarisi seluruh harta suaminya (Ydt 8:7).

       Janda yang memiliki anak memiliki tiga kemungkinan. Pertama, bila dia masih muda, dia bisa menikah lagi. Dengan menikah lagi janda dan anak-anaknya mendapatkan kembali dukungan sosial dan ekonomi. Pernikahan seorang janda dilangsungkan pada hari Kamis. Adapun alasannya “Karena jika dia menikahi pada hari apa saja dalam pekan, dia akan segera meninggalkannya dan pergi bekerja; maka mereka harus menetapkan aturan bahwa sebaiknya dia menikahinya pada hari Kamis: hari Kamis, Jumat, dan Sabat, tiga hari tanpa bekerja: dia bergembira dengan istrinya selama tiga hari” (tKet 1:1). Menurut Im 21:14 seorang janda tidak boleh dinikahi seorang Imam Besar, sementara dalam Yeh 44:22 larangan menikahi janda ini diperluas untuk semua imam. Kedua, dia tetap tidak menikah lagi dan menafkahi diri dari pekerjaannya. Ketiga dia kembali ke rumah orang tuanya. Janda anak seorang imam yang kembali ke rumah orang tuanya boleh ikut menikmati persembahan-persembahan kudus dari ayahnya (Im 22:13). Menurut Cornelis van Leeuwen, ketika bangsa Israel masih semi nomaden dan ikatan klan masih kuat, barangkali seorang janda akan kembali ke rumah ayahnya. Namun, ketika mereka sudah tinggal menetap dan terjadi pertumbuhan kota, maka si janda akan menjadi korban perkembangan sosial.

      Kesulitan ekonomi semakin kompleks bila si janda masih harus menghidupi anak-anaknya yang menjadi yatim. Berhutang adalah salah satu cara yang ditempuh untuk mengatasi kesulitan ini. Namun, pakaian seorang janda tidak boleh dijadikan jaminan (Ul 14:17). Dalam 2 Raj 4:1-7 dituturkan bagaimana seorang janda salah satu nabi dikejar-kejar oleh pemberi hutang yang hendak mengambil kedua anaknya untuk dijadikan budak guna membayar hutangnya. Sementara yang dia miliki hanyalah sebuah buli-buli berisi minyak. Maka Elisa bertindak menyelamatkan keluarga itu dengan menjadikan minyak dalam buli-buli itu bisa terus-menerus dituangkan untuk kemudian dijual sebagai pelunas hutang.

Santunan Sosial
      Dalam teks PL janda kerap disebut bersama dengan orang-orang yang perlu mendapatkan santunan sosial, seperti anak yatim (yathôm, mis. Ayb 22:9, 24:3, 31:16, Yes 10:2, Mzm 94:6, Mal 3:5), orang asing (ger, mis. Mzm 94:6, Mal 3:5, Za 7:10), orang upahan (sakhir, Mal 3:5), orang miskin (dal, mis. Yes 10:2, Ayb 31:16;  ‘anî mis. Yes 10:2, Ayb 24:4.9, Za 7:10; atau ‘ebhyôn, mis. Ayb 24:4, 31:19) dan orang-orang Lewi (Ul 14:29). Dalam masyarakat Israel seorang janda diberi santunan ekonomi, misalnya diizinkan memungut sisa hasil tuaian dan hasil kebun yang tertinggal (Ul 24:19-21), boleh bersama-sama orang Lewi, orang asing, dan anak yatim menikmati persembahan persepuluhan pada tahun ketiga yang diletakkan di pintu gerbang kota (Im 14:28.29). Dengan demikian persembahan persepuluhan tidak hanya dimaksudkan untuk menghidupi kaum Lewi, melainkan juga memberi bantuan sosial kepada mereka yang miskin. Demikian pula pada Hari Raya Pentakosta dan Hari Raya Pondok Daun para yatim dan janda juga diajak bergembira dan makan bersama-sama orang Israel yang sedang berpesta (Ul 16:11.14).

      Teks PL juga memotivasi umat Israel untuk memperhatikan dan menolong para janda. Mereka yang memberi kesempatan para janda ambil bagian dalam persepuluhan tahun ketiga akan diberkati Tuhan dalam segala usaha yang dikerjakannya (Ul 14:29). Seorang Israel yang saleh akan berbuat baik kepada para janda (bdk. Ayb 24:21), berusaha membuat hati mereka bersukaria (bdk. Ay 29:13) dan tidak akan menyuruhnya pergi dengan tangan hampa (bdk. Ayb 22:9).

Status Hukum Janda

      Dari sisi hukum Yahudi, seorang wanita yang menjadi janda memperoleh kebebasannya. Untuk bersumpah atau bernazar, seorang istri harus mendapat persetujuan dari suaminya dan seorang gadis dari ayahnya. Sedangkan seorang janda bisa menanggung sendiri nazar atau sumpahnya (lih. Bil 30:9, bdk. 30:3-8.10-15). Para rabi menegaskan, “Seorang wanita memperoleh kebebasannya (lit: memperoleh dirinya sendiri) dengan dua cara...melalui surat cerai dan melalui kematian suaminya” (mQidd. 1.1). Bila seorang budak wanita membeli kebebasannya, seorang janda otomatis memperoleh kebebasannya.

Perkawinan Levirat
      Janda yang tidak memiliki anak terikat peraturan levirat (Lat: levir, saudara ipar) dimana dia akan dinikahi oleh saudara suaminya untuk meneruskan nama dan keturunan bagi suami yang meninggal tanpa anak (Ul 25:5,6, Mat 22:24-26). Dengan adanya perkawinan levirat ini, maka nama suami yang meninggal bisa diteruskan dan harta warisnya bisa diberikan kepada anak yang akan dilahirkan. Dari sisi si janda, dia menemukan penopang ekonomi dan pelindung hukum dari keluarga besar suaminya sendiri.

      Seandainya saudara suami itu tidak mau mengambil janda saudaranya itu sebagai istrinya, maka di hadapan tua-tua kota janda itu harus menanggalkan kasut saudara iparnya itu dan meludahinya (Ul 25:7-10). Selanjutnya janda tersebut bisa menikah dengan orang lain. Dalam kisah Rut, pernikahan levirat tidak terjadi karena kedua anak Naomi sudah meninggal semua, maka tampillah peran go’el yang membeli kembali harta pusaka Naomi dan sekaligus diminta menikahi Rut, menantu Naomi.

“Perjuangkanlah Perkara Janda-Janda”
      Dalam Yes 1:10-20 Tuhan menunjukkan ungkapan pertobatan dan kesalehan yang sejati bukanlah dalam kesalehan ritual korban persembahan, melainkan perjuangan mewujudkan keadilan dan kebenaran, terlebih bagi orang-orang kecil dan lemah, di antaranya: “belalah hak anak-anak yatim, perjuangkanlah perkara janda-janda!” (1:17). Dengan meninggalnya suami, maka perkara janda dan hak-hak anak yatim terabaikan. Apalagi bila para pemimpin suka akan suap, janda miskin tidak akan pernah bisa memenangkan perkara (Yes 1:23). Dalam perumpamaan “Janda dan Hakim yang Tidak Benar” (Luk 18:1-8) yang menegaskan perlunya doa yang tidak jemu-jemu, Tuhan Yesus melukiskan bagaimana perjuangan janda “di luar pengadilan” karena agaknya si janda berhadapan dengan lawan yang kuat.

      Para nabi mengecam pemimpin yang membuat ketetapan yang justru menghalangi orang-orang lemah memperoleh keadilan. Melalui kebijakannya mereka justru merampas milik janda-janda dan menjarah anak-anak yatim (Yes 10:2, bdk. Yeh 22:7, Mal 3:5). Karena tidak ada pembela di pengadilan, hak anak yatim dan perkara janda kerap diabaikan. Bahkan dalam kritik Tuhan Yesus kepada para ahli Taurat, mereka kerap mengelabui mata orang dengan doa yang panjang-panjang dan jumbai yang lebar untuk menutupi tindakan mereka yang “menelan rumah janda-janda” (Mrk 12:40). Di sini pemimpin umat justru menyalahgunakan kepercayaan orang-orang lemah ini.

      Dalam Perjanjian Lama cukup banyak dilukiskan penderitaan para janda. Tidak jarang para janda dianiaya (Ayb 24:3, Yeh 22:7) dan ditindas (bdk. Kel 22:22, Ul 27:19). Orang fasik akan menyuruh para janda pergi dengan tangan hampa (Ayb 22:9), mengambil gadai dari mereka (Ayb 24:3), merampas milik mereka (Yes 10:2, Mat 23:14), bahkan tega membunuhnya (Mzm 94:6). Mereka menjadi korban dari orang jahat (Keb 2:10). Terhadap aneka penderitaan anak yatim dan janda, seorang saleh harus membela dan memperjuangkan perkara mereka.

Tuhan: Pelindung bagi para Janda
      Menyaksikan aneka penindasan dan ketidakadilan terhadap anak yatim dan janda, pemazmur meyakini bahwa Tuhan sendirilah yang menjadi bapa bagi anak yatim dan pelindung bagi para janda (Mzm 68:6, 146:9). Tuhan sendirilah yang akan membela hak anak yatim dan janda (Ul 10:18). Allah akan mendengarkan seruan mereka (Kel 22:23, Sir 35:14), membela (Ul 10:18, Mzm 68:6), dan menjaga mereka (Mzm 146:9), serta menghakimi orang yang menindas para janda (Mal 3:5).

      Mereka yang memperkosa hak orang asing, anak yatim, dan janda di bawah ancaman kutuk Tuhan (Ul 27:19). Demikian pula para pemimpin yang menyebabkan banyak wanita menjadi janda (Yeh 22:25). Dengan ius talionis (hukum timbal balik) Tuhan sendiri mengancam mereka yang bertindak sewenang-wenang terhadap anak yatim dan para janda, “Murka-Ku akan bangkit dan Aku akan membunuh kamu dengan pedang, sehingga istri-istrimu menjadi janda dan anak-anakmu menjadi yatim” (Kel 22:23, bdk. Mzm 109:9). Maka anak-anak yatim dan para janda diundang mempercayakan diri kepada Tuhan sendiri (bdk. Yer 49:11). Sebab Tuhan akan mendengarkan jeritan doa mereka (Kel 22:22).

Janda-Janda yang Mengagumkan
      Dari uraian di atas seakan sosok seorang janda adalah pribadi yang serba lemah dan miskin. Namun, Alkitab juga menyebut beberapa janda yang tampil mengagumkan.  Kita akan menyimak kiprah mereka, dua janda yang pertama disebut pula dalam silsilah Tuhan Yesus (Mat 1:3,5).

1. Tamar

      Tamar adalah menantu Yehuda yang dinikahkan dengan Er, anak pertama Yehuda. Er meninggal tanpa meninggalkan keturunan. Tamar pun dinikahi Onan, adik Er, agar memberikan keturunan bagi kakaknya. Menyadari bahwa anak pertamanya nanti akan dianggap sebagai keturunan Er, maka Onan melakukan coitus interuptus. Hal demikian dipandang jahat oleh Tuhan sehingga dia dibunuh-Nya (Kej 38:6-10). Selanjutnya Tamar yang telah menjanda dua kali ini semestinya dinikahi oleh Syela, anak ketiga Yehuda. Namun Yehuda khawatir anak ketiganya ini juga akan mati seperti kedua kakaknya. Dengan halus Tamar disuruh tinggal menjanda di rumah orangtuanya sampai Syela menjadi besar.
Menyadari bahwa setelah Syela menjadi besar tidak juga diberikan kepadanya, maka begitu Tamar mendengar bahwa mertuanya yang kini telah menjadi duda itu hendak pergi ke Timna, dia pun menanggalkan pakaian kejandaannya dan mengenakan telekung/cadar untuk menutupi mukanya. Ketika bertemu,  Yehuda menduga bahwa Tamar adalah seorang sundal, maka dia menghampirinya. Tamar meminta cap meterai, kalung, dan tongkat Yehuda sebagai tanggungan atas anak kambing yang dijanjikan. Melalui barang-barang tanggungan itu akhirnya Yehuda menyadari bahwa menantunya telah mengandung dari dia sendiri (ay. 26). Yehuda tidak menyalahkan menantunya sebab dia tidak segera memberikan Syela untuk menikahinya. Dari kisah ini kita bisa melihat bagaimana perjuangan seorang janda dalam menuntut haknya.

2. Rut

      Kitab Rut berawal dari kisah perantauan keluarga Elimelekh dari Betlehem ke negeri asing, Moab, karena di tanah Israel terjadi kelaparan. Di sana Elimelekh meninggal dengan meninggalkan istri, Naomi, dan kedua anak mereka, Mahlon dan Kilyon. Janda Naomi pun mengambil dua wanita Moab, Orpa dan Rut, sebagai istri bagi kedua anaknya. Setelah tinggal bersama selama sepuluh tahun, matilah kedua bersaudara itu. Kini tinggallah Janda Naomi bersama kedua menantunya yang telah menjadi janda pula. Naomi bermaksud kembali ke tanah asalnya di Betlehem dan kedua janda muda itu hendak mengikutinya. Namun, Naomi menyuruh mereka untuk kembali kepada  orang tua masing-masing dan menikah lagi (Rut 1:10-13).

      Orpa menuruti saran Naomi. Sedangkan Rut tetap bersikeras mengikuti ibu mertuanya kembali ke bangsanya, sebab dia sendiri telah memeluk iman Yahudi, “bangsamulah bangsaku, Allahmulah allahku” (1:16). Rut tidak hanya menikah dengan lelaki Yahudi, tetapi juga telah memeluk iman keluarga suaminya. Akhirnya mereka tiba di Betlehem pada musim menuai jelai. Rut bekerja keras memunguti jelai yang ditinggalkan para penyabit. Boas, pemilik ladang jelai yang masih kaum Elimelekh, menyuruh Rut tetap memungut di belakang pekerja wanitanya dan mempersilakan dia minum dari air dan makan dari roti yang dinikmati para pengerja Boas. Demikianlah Rut bisa menyambung hidup bersama mertuanya dari hasil memungut berkas jelai dari ladang Boas sampai musim menuai berakhir.

      Menyadari bahwa Boas adalah kaum Elimelekh yang termasuk harus menebus (go’el) keluarganya, Naomi pun mengatur siasat (3:1-4) untuk mempertemukan Boas dengan Rut di tempat pengirikan. Malam-malam Rut yang telah berdandan menuju tempat pengirikan Boas dan dengan diam-diam menyingkapkan selimut Boas dari kakinya dan berbaring di situ. Ketika dikenali Boas, Rut pun memohon, “Kembangkanlah sayapmu melindungi hambamu ini, sebab engkaulah kaum yang wajib menebus kami” (3:9b). Boas pun menyatakan kekagumannya pada Rut. Pertama, Rut telah meninggalkan orang tua dan tanah kelahirannya dan pergi kepada bangsa yang tidak dikenal sebelumnya (2:11). Kedua, Rut tidak mengejar orang muda, entah miskin ataupun kaya (3:10). Boas pun berniat menjadi penebus (go’el) atas keluarga Naomi, hanya saja masih ada seorang penebus yang jauh lebih dekat daripada Boas (3:12).

      Esok harinya di pintu gerbang kota, di hadapan sepuluh tua-tua kota, Boas menawari penebus yang lebih dekat dari dia untuk membeli tanah milik Naomi. Namun demi didengarnya bahwa selain membeli tanah Naomi, penebus itu juga akan mendapatkan Rut, janda Mahlon yang dari Moab itu, diurungkanlah maksudnya. Dengan demikian Boas bertindak menjadi penebus yang membeli milik Elimelekh dan menikahi Rut untuk menegakkan nama orang yang mati atas tanah pusakanya (4:10).

       Dari perkawinan Boas dan Rut, perempuan Moab itu, lahirlah Obed, ayah Isai, kakek Daud, dan sekaligus moyang Yesus dari Nazaret (Mat 1:5). Agaknya, kisah Rut, moyang raja Daud yang berasal dari negeri asing, dikisahkan kembali untuk mengkritik kebijakan politis-religius Ezra dan Nehemia pada masa setelah pembuangan Babel dimana mereka menyuruh pria Israel menceraikan istri mereka yang berasal dari bangsa lain dan mengusir mereka bersama dengan anak-anaknya (Ezr 10:3.44; Neh 13:23-28).

3. Janda Sarfat

      Janda Sarfat di wilayah Sidon ini menolong Elia yang menyingkir karena kekeringan yang melanda Israel. Elia menubuatkan bahwa embun dan hujan tidak akan jatuh ke Israel yang telah berpaling menyembah Baal, dewa kesuburan (1 Raj 17:2). Janda itu memberi air kepada Elia. Ketika Elia meminta roti, dengan terus terang dikatakannya bahwa dia hanya memiliki segenggam tepung dan sedikit minyak. Katanya, “Sekarang aku sedang mengumpulkan dua tiga potong kayu api, kemudian aku mau pulang dan mengolahnya bagiku dan bagi anakku, dan setelah memakannya, maka kami akan mati” (1 Raj 17:12). Kendati demikian Janda Sarfat itu mengamini nubuat Elia bahwa tepung dan minyaknya tidak akan berkurang, maka dia membuatkan roti bundar bagi Elia. Mereka pun tetap bisa makan, berkat iman dan kemurahhatian janda Sarfat ini. Janda asing itu mempercayai Firman Yahweh yang disampaikan Elia, sementara raja Ahab sendiri justru meninggalkan Yahweh dan berpaling kepada Baal.

      Namun, persoalan yang baru muncul. Anak Janda Sarfat itu jatuh sakit sampai tidak bernafas lagi. Ibunya pun memprotes Elia, “Singgahkah engkau kepadaku untuk mengingatkan kesalahanku dan untuk menyebabkan anakku mati?” (17:18) Elia pun membawa anak itu ke kamarnya di atas. Dia berdoa dan menggugat Tuhan dan tidak rela bahwa Tuhan menimpakan kemalangan juga kepada janda yang telah berbaik hati memberinya tumpangan (17:20). Akhirnya Tuhan mendengarkan doa Elia sehingga anak itu bisa dihidupkan lagi dan dikembalikan kepada ibunya. Janda malang itu menerima kembali anak tunggalnya yang telah hidup kembali. Dialah harapannya di masa depan. Kemurahhatian Janda Sarfat dibalas Tuhan dengan cara menghidupkan anaknya yang telah mati. Nabi Elia juga tidak rela bahwa ibu yang telah berbaik hati padanya itu juga menerima kemalangan.

4. Yudit

      Berbeda dengan tradisi Yahudi umumnya, Yudit, seorang janda cantik ini mewarisi kekayaan Manasye, suaminya (Ydt 8:7). Kendati demikian dia hidup dalam kesederhanaan. Dia tinggal di gubuk di atas sotoh rumahnya (lih. 8:5). Dia memakai kain kabung pada pinggangnya dan mengenakan pakaian yang pantas bagi seorang janda (8:4). Sejak menjadi janda, setiap hari Yudit berpuasa, kecuali pada hari-hari gembira orang Israel (8:4).

      Ketika mengetahui bahwa kotanya, Betulia, akan diserang oleh pasukan Asyur dan para tua-tua kota tidak berani, Yudit pun turun tangan. Dia pun menanggalkan kain kabung dan pakaian kejandaannya (10:3), lalu berdandan cantik. Kemudian bersama dayangnya dia menghampiri perkemahan pasukan Asyur. Akhirnya, berkat kecantikannya Yudit berhasil memperdaya Holofernes, panglima perang Asyur. Dengan pedang Holofernes sendiri Yudit memarang kepala panglima musuh itu (Ydt 13:7-8). Melalui tangan seorang janda (bdk. 8:9) Tuhan menyelamatkan penduduk Betulia sehingga musuh tidak jadi masuk kota Yerusalem. Dalam kantong (sakkos) yang dibawanya Yudit menyimpan kepala Holofernes, lalu menunjukkannya kepada penduduk Betulia (13:10, 14:15). Keperkasaan panglima Asyur itu terkalahkan oleh keelokan paras seorang janda saleh (16:4-9). Setelah peristiwa kemenangan itu, Yudit kembali menetap di Betulia, pada miliknya (16:21). Kendati kemudian banyak orang meminangnya, dia tetap menjanda sampai akhir hayatnya pada usia 105 tahun (16:22-23).

5. Hana

      Nabi perempuan ini turut menyambut ketika kanak-kanak Yesus dipersembahkan di Bait Allah. Dia adalah seorang janda yang telah berusia 84 tahun dan sempat hidup bersama suaminya selama tujuh tahun (Luk 2:36-37). Bila kita memperhatikan kebiasaan Yahudi dimana anak perempuan dinikahkan sekitar usia 13 tahun, maka setidaknya sejak usia dua puluh tahun Hana telah menjanda. Dia memilih untuk tidak menikah lagi. Sebaliknya sejak menjadi janda itu Hana tidak pernah meninggalkan Bait Allah dan siang malam beribadah dengan berpuasa dan berdoa (Luk 2:37). Sebagai seorang nabiah, dia berbicara tentang Kanak-Kanak Yesus kepada semua orang yang menantikan kelepasan bagi Israel. Agaknya Lukas mau menampilkan kehidupan Hana yang tekun beribadah di Bait Allah ini sebagai teladan bagi para pengikut Kristus (Luk 24:53, Kis 2:46).

6. JANDA MISKIN NAN MURAH HATI

      Janda miskin anonim yang memberi persembahan ini dipuji oleh Tuhan Yesus karena dia memberi dari kekurangannya. Kendati jumlah nominal persembahannya tidak sebanyak orang lain, dia memberikan dari seluruh nafkahnya (Luk 21:1-4). Dia berani memberi persembahan kendati dia belum berkelimpahan, bahkan harus mempertaruhkan seluruh nafkah hidupnya. Dia melakukan hal itu karena mengandalkan Tuhan sendiri.       

      Tindakan janda miskin ini sangat kontras dengan perikop sebelumnya dimana Yesus justru mengecam para ahli Taurat yang kerap mencari kehormatan diri dan menelan rumah janda-janda (Luk 20:47). Kadang ahli-ahli Taurat datang kepada Yesus bersama dengan orang-orang Farisi (Luk 5:17) yang disebut Lukas sebagai “hamba-hamba uang” (Luk 16:14). Kendati mereka ini berkelimpahan, toh tidak memberi semurah hati janda miskin ini.

Gereja Perdana melayani para janda
      Sebelum melihat bagaimana Gereja melayani para janda, baiklah kita ingat kisah Yesus membangkitkan pemuda di Nain. Ketika melihat janda yang kehilangan anak tunggalnya, satu-satunya gantungan masa depannya, Tuhan Yesus tergerak hati oleh belas kasihan (Luk 7:11-17). Setelah dihidupkan kembali, diserahkan-Nya pemuda itu kepada ibunya. Kisah yang mirip dengan janda Sarfat yang anaknya telah dihidupkan oleh Elia.

     Tuhan Yesus telah menunjukkan belas kasihan kepada Janda di Nain, maka para murid meneladan-Nya. Jemaat perdana memberikan santunan kepada para janda (Kis 6:1, 1 Tim 5:9). Persoalan timbul ketika jumlah umat makin bertambah dan pelayanan bagi para janda di Yerusalem yang berbahasa Yunani terabaikan. Maka dipilihlah tujuh diakon untuk membantu “melayani meja”, sementara para rasul memusatkan perhatian dalam doa dan pelayanan Firman (Kis 6:4). Bagi penulis surat Yakobus, salah satu bentuk ibadah yang murni dan tak bercacat di hadapan Tuhan adalah mengunjungi yatim piatu dan janda-janda dalam kesusahan mereka (Yak 1:27).

       Selain itu, tersebutlah di Yope seorang wanita yang sering berbuat baik dan memberi sedekah. Namanya Dorkas atau Tabita. Atas inisiatif sendiri dia membuatkan pakaian untuk para janda di Yope. Suatu hari Tabita jatuh sakit dan akhirnya meninggal. Kebetulan Petrus yang berkeliling mewartakan Injil sedang berada di Lida, tidak jauh dari Yope, maka segera diundang datang. Begitu Petrus datang, para janda pun sambil menangis menunjukkan baju dan pakaian mereka yang dibuatkan oleh Tabita. Akhirnya, Petrus menghidupkan Tabita dari kematian (lih. Kis 9:36-43).

Anjuran Paulus: Tetap seperti waktu dipanggil
      Dalam 1 Kor Paulus menulis, “Kepada orang-orang yang tidak kawin dan janda-janda, aku anjurkan, supaya baiklah mereka tinggal dalam keadaan seperti aku”. Artinya, agar mereka tetap tidak menikah (lagi), kendati hal ini mengandaikan adanya karunia khas dari Allah (7:7). Nasihat Paulus ini dilatarbelakangi keyakinan Gereja masa itu bahwa kedatangan Kristus kedua kali (parousia) segera terjadi (7:29-31), maka sebaiknya orang tetap hidup dalam keadaan sewaktu dipanggil (7:17.26). Paulus tidak menganjurkan para janda untuk menikah lagi. Sebab “perempuan yang tidak bersuami dan anak-anak gadis memusatkan perhatian mereka pada perkara Tuhan, supaya tubuh dan jiwa mereka kudus” (7:34). Dengan tidak menikah (lagi) diharapkan mereka dapat “melayani Tuhan tanpa gangguan” (7:35).

Pembedaan janda dalam surat Pastoral
      Anjuran Paulus di atas berbeda dengan pernyataan dalam surat Pastoral karena di zaman Generasi penerus Paulus ini harapan parousia segera terjadi tidak sekuat sebelumnya. Dalam 1 Tim 5:1-16, Timotius diberi panduan mengenai penggembalaan bagi para janda. Timotius harus memperingatkan para janda agar tidak hidup mewah dan berlebih-lebihan (bdk. ay 6) dan senantiasa hidup tanpa cela (ay. 7). Selanjutnya diberikan panduan untuk membedakan janda-janda yang terdapat dalam jemaat. Janda yang seperti apakah yang sebaiknya disantuni dan dilibatkan dalam banyak pelayanan gereja. Penulis surat ini mengkategorikan tiga jenis janda, yakni:

  1. Janda yang tinggal bersama keluarganya, mereka akan tetap mengurus keluarganya. (ay. 16): Janda yang memiliki anak atau cucu, hendaknya belajar berbakti kepada keluarganya sendiri dan sebaliknya juga menerima balas budi dari anak dan cucunya (ay.4). Keluarganya bertanggung jawab untuk menghidupi ibunya yang telah menjadi janda, sehingga tidak membebani jemaat (ay.16).
  2. Janda muda dianjurkan menikah lagi, beroleh anak, dan memimpin rumah tangganya (ay.14). Jangan muda tidak didaftarkan dalam institusi janda dalam jemaat karena dikhawatirkan dia akan menikah lagi dan dengan demikian memungkiri kesetiaannya kepada Kristus (ay.11-12). Pelayanan janda muda yang keluar-masuk rumah dikhawatirkan akan membuat mereka bermalas-malasan, mencampuri urusan orang lain, dan mengatakan hal-hal yang tidak pantas (ay. 13). Hal demikian justru akan menjadi alasan bagi lawan untuk menjelek-jelekkan jemaat (ay. 14).
  3. Yang benar-benar janda: mereka akan dihormati dan disantuni oleh jemaat secara ekonomi (ay. 3). Mereka disebut ‘benar-benar’ janda karena hidup sendiri, tidak memiliki keluarga dan tidak berniat nikah lagi (ay. 5). Mereka hanya mempercayakan diri kepada Tuhan, menyediakan waktunya siang dan malam untuk berdoa (bdk. 1 Tes 3:10) dan ambil bagian dalam pelayanan gereja (ay. 10).

      Dengan pembedaan di atas maka gereja hanya menyantuni mereka yang “benar-benar” janda. Sementara kebutuhan ekonomi janda yang tinggal bersama keluarganya ataupun yang menikah lagi akan ditanggung oleh keluarganya. Selanjutnya, mereka yang “benar-benar” janda itu bisa didaftarkan dalam institusi janda dalam gereja. Selain mendapatkan santunan ekonomi, anggota institusi janda ini juga dilibatkan dalam pelayanan gereja, seperti mengunjungi umat dari rumah ke rumah (bdk. ay. 13). Untuk didaftarkan dalam institusi ini, mereka yang “benar-benar” janda ini harus sudah berusia 60 tahun ke atas, bersuami satu kali, dan telah terbukti melakukan banyak perbuatan baik dalam jemaat (ay. 9).

Perkembangan selanjutnya dalam Gereja awali
      Pada era Post Perjanjian Baru, peran institusi janda pada masa gereja awali bertugas antara lain berdoa, mengunjungi orang sakit, mengunjungi orang dalam penjara, menerima dan menjamu pengkhotbah keliling, dan mengajar katekumen wanita dan gadis-gadis kristiani. Karena pekerjaannya, mereka dihormati dan dalam ibadah berdiri di sebelah kiri belakang presbyter (sementara diakon di belakang kanan Uskup) dan menerima komuni setelah diakon dan sebelum subdiakon. Pada masa akhir periode ini institusi janda tidak lagi muncul. Agaknya institusi ini pada masa berikutnya tampil dalam bentuk baru dengan munculnya para monastik dan biarawati yang melayani Gereja.

Wasana Kata
      Seorang janda memiliki status sosial dan ekonomi yang lemah. Kendati demikian mereka tidak berputus asa karena mengandalkan perlindungan Tuhan. Bagkan di tengah segala keterbatasannya, mereka tetap berani bermurah hati kepada sesama dan terlibat dalam pelayanan jemaat. Tidak sedikit yang tetap setia dengan suaminya sehingga tidak mau menikah lagi. Mereka justru bisa leluasa mengatur hidupnya dalam semangat doa dan puasa. Menarik pula mencatat bahwa 1 Tim 5 juga menghargai pengabdian seorang janda bagi keluarganya sendiri. Dalam pelayanan dan menerima balas kasih dari anak dan cucunya mereka menemukan kebahagiaan.

       Kita patut mencatat pula bantuan sosial yang diberikan untuk para janda. Dalam tradisi Yahudi mereka boleh menikmati bagian dari persepuluhan, ikut bergembira pada hari raya Pentakosta dan Pondok Daun. Sementara Gereja secara nyata memberikan “pelayanan meja” kepada para janda miskin dalam jemaat. Menjadi bahan refleksi untuk Gereja Indonesia dewasa ini sejauhmana slogan option for the poor telah direalisasikan, terlebih bagi para janda Katolik yang mengalami keterbatasan finansial di satu pihak, tetapi aktif dalam pelayanan gereja dan kegiatan lingkungan dan paroki.
Seminari Tinggi Beato Giovanni Malang, 22 Maret 2014

 

Kepustakaan:
----. “Janda” dalam Alkitab Sabda di http ://alkitab.sabda.org/dictionary.php?word=Janda, diakses pada 11 Maret 2013.

Baab, O.J. “Widow” dalam G.A. Butrick (ed), The Interpreter’s Dictionary of the Bible, Nashville: Abingdon Press, 1989, hlm. 842-843.
de Vaux, Roland. Ancient Israel: Its Life and Institutions. London: Darton, Longman & Todd, 1973.

Hoffner, “’almanah – ‘almanûth“, dalam G.J. Botterweck – J. Ringgress, Theological Dictionary of The Old Testament, Vol 1, Grand Rapids, MI: Eerdmans, 1983, hlm. 287-291.

Ilan, Tal. Jewish Women in Greco-Roman Palestine. Peabody, Massachusetts: Hendrickson Publishers, 1996.

Kraft, H. “chera - widow”, dalam H. Balz & G. Schneider, Exegetical Dictionary of the New Testament, Vol 3, Grand Rapids, MI: Eerdmans, 1993, hlm. 465-466.

Kühlewein, J. “’almanâ - widow “ dalam E. Jenni & C. Westermann, Theological Lexicon of The Old Testament, Vol 1, Peabody, Massachusetts: Hendrickson Publishers, 1997, hlm.  127-130.

Pridmore, J. “Orphanos” dalam Colin Brown (ed), The New International Dictionary New Testament Theology, Vol 2, hlm. 737-738.

Stählin, “chera”, dalam G. Kittel & G. Friedrich, Theological Dictionary of The New Testament, Vol IX, Grand Rapids, MI: Eerdmans, 1974, hlm. 440-465.

van Leeuwen, Cornelis. “’almanâ”, dalam W.A. Van Gemeren (ed). New International Dictionary of Old Testament Theology and Exegesis, Vol 1, Grand Rapids, MI: Zondervan, 1997, hlm. 413-415.

 

Artikel ini dipublikasikan dalam bunga rampai: Albertus Purnomo, Inspirasi Alkitabiah dalam Menyikapi Problema Keluarga, Kanisius-LBI, 2014, hlm. 103-119.

Penulis adalah imam praja Keuskupan Malang dan bertugas sebagai staf pengajar kitab suci di STFT Widya Sasana Malang.

Stählin, “chera”, dalam G. Kittel & G. Friedrich, Theological Dictionary of The New Testament, Vol IX, Grand Rapids, MI: Eerdmans, 1974, hlm. 440.

J. Kühlewein, “’almanâ - widow “ dalam E. Jenni & C. Westermann, Theological Lexicon of The Old Testament, Vol 1, Peabody, Massachusetts: Hendrickson Publishers, 1997, hlm.  128.

Roland de Vaux, Ancient Israel: Its Life and Institutions, London: Darton, Longman & Todd, 1988, hlm. 40.

Ibid., hlm. 54.

Kitab Yudit sendiri bukanlah suatu karya historis, mengingat adanya penokohan yang kurang tepat. Dikatakan bahwa Nebukadnezar sebagai raja Asyur (Ydt 1:1), padahal Nebukadezar semestinya raja Babel (bdk. 2Raj 24:1). Di beberapa tempat penggambaran tokoh janda Yudit tidak seperti kebiasaan umum bangsa Israel, seperti lamanya mengenakan pakaian kejandaan (8:4) dan janda yang bisa mewarisi harta suami (8:7).

Cornelis “’almanâ”, dalam W.A. Van Gemeren (ed). New International Dictionary of Old Testament Theology and Exegesis, Vol 1, Grand Rapids, MI: Zondervan, 1997, hlm. 413.

Hoffner, “’almanah – ‘almanûth“, dalam G.J. Botterweck – J. Ringgress, Theological Dictionary of The Old Testament, Vol 1, Grand Rapids, MI: Eerdmans, 1983, hlm. 288.

Bdk. Tal Ilan, Op.Cit., hlm. 65.

Stählin, art.cit., hlm. 464-465.

 

Diperkenankan untuk mengutip sebagian atau seluruhnya isi materi dengan mencantumkan sumber http://www.imankatolik.or.id/