Kalender Liturgi hari ini
Kitab Hukum Kanonik
KITAB SUCI +Deuterokanonika
: - Pilih kitab kitab, masukan bab, dan nomor ayat yang dituju
Katekismus Gereja Katolik
No. : masukkan no. katekismus yang dikehedaki,( 67, 834 / 883-901)
SEJARAH PAUS

Ensiklik & Surat Paus

Dokumen KV 2

No: masukkan no. yang dikehedaki - 0 (nol) untuk melihat daftar isi-(catatan kaki lihat versi Cetak) 

MENGENAL LINGKUNGAN/KRING

Sejarah
Dalam Gereja Katolik dikenal dengan istilah Paroki yaitu komunitas kaum beriman yang dibentuk secara tetap dengan batas-batas territorial tertentu. Di dalam setiap paroki secara hirarki memiliki wilayah/stsai dan setiap wilayah/stasi memiliki lingkungan-lingkungan di mana disetiap lingkungan merupakan perhimpunan dari keluarga-keluarga Katolik (setiap lingkungan setidaknya bervariasi jumlah minimal di setiap keuskupan), tetapi rata-rata terdapat minimal 20 kepala keluarga Katolik dalam teritorial berdekatan dapat membentuk sebuah lingkungan.

Salah satu kekhasan Gereja Katolik Indonesia adalah adanya sistem lingkungan/ kring/stasi dalam pelayanan pastoral parokial-teritorial yang memungkinkan semakin banyak kaum beriman awam terlibat dalam pengembangan Gereja seperti yang diharapkan oleh Konsili Vatikan II (lih. AA 10, AA 24, AG 21). Bahkan para pamong kring dipelosok-pelosok ini berperan sebagai gembala bagi umat kringnya (mendpatkan pembekalan terlebih dahulu dari pastor kepala parokinya), dimana mereka dipercaya untuk memimpin ibadat-ibadat, mengajar calon baptis, juga membimbing umat yang mengalami kesulitan.

Dalam perkembangan waktu, sistem “bapak pamong kring” ini kemudian berkembang menjadi sistem lingkungan yang kemudian juga dimasukkan dalam struktur dewan pastoral paroki. Dalam semangat kepemimpinan partisipatoris, “salib pelayanan” umat di lingkungan/kring tidak lagi “dibebankan” pada pundak ketua lingkungan saja, tetapi menjadi tanggung jawab para pengurus lingkungan. Keterlibatan para pengurus lingkungan/kring sungguh membantu dan melipatgandakan tenaga dan perhatian pastoral Pastor Paroki. Dan menarik untuk dicermati, “sekolah pelayanan dan kerjasama” para pengurus lingkungan ini sekaligus merupakan salah satu wahana dan peluang untuk mempersiapkan kader-kader di llingkungannya.

Istilah Kring dan Stasi pertama dikenalkan oleh seorang misionaris dari Eropa, Romo F. Strater, SJ yang berkarya di Yogyakarta tahun 1918. Salah satu daerah yang mengalami perkembangan umat cukup pesat adalah umat Katolik yang berada di Dusun Dukuh. Namun dalam perkembangan selanjutnya pada tahun 1930-an, pertumbuhannya menjadi tersendat karena tekanan politik dari pemerintah kolonial Belanda. Setelah Indonesia merdeka, pertumbuhan umat Katolik di daerah ini kembali semarak. Banyak orang yang tadinya sebagai penghayat kepercayaan seperti Saptodarmo, Pengestu, Setyabudi 45, dan lain-lain berpindah ke agama Katolik. Demikian juga dengan orang-orang Islam tetapi tidak menjalankan syariat Islamnya dan tidak tahu apa yang harus mereka lakukan dalam lima rukun Islam, mereka memilih menjadi umat Katolik secara sukarela dan kesadaran sendiri. Tidak hanya perorangan, banyak dari mereka adalah satu keluarga “menyerahkan diri” kepada Pastor untuk dibaptis.

Perkembangan ini tidak hanya terjadi di Dusun Dukuh, tetapi dusun-dusun lain yang ada di Desa Pandowohardjo. Bahkan dusun-dusun lain di luar Desa Pendowoharjo, seperti Temon, Krandon, Ngelo, Kepanjen, dan masih banyak lagi. Karena jumlah calon umat Katolik yang sangat banyak itulah, maka Romo F. Strater, SJ membagi wilayahnya menjadi Kring. Nama Kring adalah nama pedukuhannya, yaitu Kring Dukuh, Kring Temon, Kring Krandon, Kring Ngelo, Kring Kepanjen, dan lain-lain. Dusun Dukuh menjadi pusat kegiatan liturgi mingguannya. Dari 19 kring yang ada tersebut disatukan oleh nama Stasi. Satasi Dukuh adalah bagian dari paroki di Kecamatan Sleman, Kabupaten Sleman.

Nama Kring (nama komunitas terkecil dalam struktur gereja Katolik di daerah Yogyakarta dan sekitarnya saat itu) digunakan untuk memudahkan mengorganisasi calon umat Katolik yang akan dibaptis. Nama kegiatannya adalah “Wulangan”, yaitu kegiatan pembinaan iman yang akan dipersiapkan untuk baptisan dewasa oleh seorang katekis awam yang telah dipercaya oleh pastor di paroki. Jumlah katekis saat itu sangat terbatas. Mereka harus berkeliling dari dusun ke dusun untuk memberikan “wulangan”. Sampai sekarang ini nama Kring masih melekat di daerah-daerah atau pinggiran kota, meskipun kegiatan “wulangan” sudah tidak ada lagi/jarang, karena pusat pembinaan iman umat sudah bergeser ke paroki.

Kemudian yang kedua adalah nama stasi. Stasi adalah pusat kegiatan umat Katolik di bawah paroki. Stasi adalah wilayah yang keberadaannya jauh dari paroki. Stasi biasanya berada di desa-desa. Stasi memiliki kapel atau gereja. Kegiatan misa bisa satu bulan sekali, satu bulan dua kali, bahkan ada yang 2-3 bulan sekali. Terutama yang berada di pelosok-pelosok dan imamnya hanya ada satu. Stasi yang memiliki umat lebih dari 60 kepala keluarga, memiliki perangkat pengurus yang lengkap, administrasi dan manajemen yang baik, dan AD/ART yang jelas bisa dinaikkan statusnya menjadi paroki. Meskipun letaknya ada di desa atau pinggiran kota.

Dalam sejarah perkembangan gereja di nusantara ini, nama kring dan stasi seperti sudah dipatenkan dan bagian dari struktur gereja Katolik. Padahal dalam statuta gereja Katolik dua istilah tersebut masih samar. Namun kedua istilah tersebut tidak salah diterapkan dalam struktur gereja karena gereja Katolik universal mengakomodasi kearifan lokal, toleran, dialogal, luwes, dan dinamis. Penggunaan kedua istilah tersebut juga tidak terlepas dari pengaruh para pemuka agama Katolik dan para rohaniwan yang diberi kepercayaan memimpin gereja Katolik di Indonesia pada waktu itu. Latar belakang para pemuka agama Katolik dan para rohaniwan kebanyakan berasal dari Suku Jawa, sehingga istilah yang kental dengan nuansa Jawa tersebut dianggap nama yang paling pas secara turun-temurun (mohon maaf jika pandangan penulis ini salah). Sementara dari suku lain menganggap hal itu baik dan benar sehingga tidak dipermasalahkan.

Karakteristik kring dan stasi biasanya memiliki tradisi yang yang lebih kuat. Pola pikir umat yang menghidupi kring dan stasi lebih sederhana namun militant. Hubungan horizontal dengan pemeluk agama lain dan masyarakat umum relatif tidak mengalami kendala. Sikap saling protect, menghargai, tolerasi, dan gotong royong masih nampak nyata. Permasalahan di kring dan stasi sangat kecil karena musyawarah untuk mencapai mufakat masih dijunjung tinggi. Azas kekeluargaan masih dikedepankan dalam menyelesaikan suatu permasalahan.

Lingkungan/Kring
Lingkungan dalam pembagian komunitas umat Katolik di paroki sama dengan kring. Tugas-tugas dan susunan organisasinya sama (dalam sebuah kring / lingkungan ada ketua kring/lingkungan, kemudian ada wakil, ada sekretaris, bendahara lingkkungan/kring, ada yang bertanggungjawab dalam bidang peribadatan, pelayanan, pewartaan dan sebagainya).

Bedanya bahwa kring biasanya terdapat di desa-desa yang wilayahnya dibatasi oleh batas pedukuhan atau desa. Sedangkan lingkungan adalah komunitas yang domisilinya berdekatan. Tidak terikat dengan batas pemerintahan. Satu lingkungan bisa melewati lintas kelurahan, kecamatan, kabupaten, bahkan provinsi. Lingkungan biasanya pembagian wilayah gereja Katolik yang berada di kota-kota besar dan kota-kota kecil yang mudah dijangkau dengan kendaraan umum dan jarak dengan pusat paroki tidak terlalu jauh.

Wilayah/Stasi
Sampai saat ini keberadaan wilayah/Stasi di paroki-paroki tertentu ditempatkan pada slot yang berbeda-beda. Kebanyakan paroki, wilayah adalah struktur gereja yang membawahkan minimal 3 lingkungan. Secara garis komando, wilayah/stasi adalah sebagai koordinator. Pengurusnya tidak selengkap pengurus lingkungan. Prioritas gereja adalah menempatkan bagaimana sabda Tuhan dapat dihayati, direnungkan, dan dimaknai, dan diimplentasikan dalam kehidupan sehari-hari. Nama wilayah/Stasi dan lingkungan adalah hanyalah cara atau sarana untuk memudahkan pengorganisasian umat dan menyampaikan kabar gembira dari Allah.